qur'an

Jumat, 21 Oktober 2011

Tegakkan Shalat dan Berjamaah!


Submitted by forsan salaf on Monday, 25 January 201015 Comments
shalatjKalam Habib Hasan bin Sholeh al-Bahar al-Jufri
Sudah jamak dimengerti, shalat adalah pilar agama. Ia menyangga bangunan Islam kita. Kuat tidaknya iman sangat bertumpu padanya. Karena itu ia mesti dikokohkan. Jangan sampai rapuh atau keropos. Sebab agama kita menjadi taruhannya.
Sejatinya, tanpa shalat, seorang muslim seolah tak beridentitas. Akidahnya soak. Tak ada simpul pererat antara dirinya dengan Sang Tunggal. Ia diambang jurang kesyirikan. Sedikit saja taifun menerpa, ia dipastikan terjungkal ke dasar kegelapan yang tiada ujung pangkal.
Itulah cikal keprihatinan seorang Habib Hasan bin Sholeh bin Idrus al-Bahr al-Jufri, sosok besar abad ke-13 Hijriyah di lembah Hadramaut. Kala itu, dilihatnya sebagian muslimin mulai teledor dalam menjaga fardu lima waktu. Dalam seutas risalah wasiatnya kepada seorang pecinta ia menulis mukaddimah, “Kutorehkan wasiat ini ketika kulihat diriku dan orang-orang sekitarku terkesan mulai keberatan memelihara shalat lima waktu dan berjamaah, serta kian jarangnya orang-orang yang berlomba dalam berbuat baik dan ibadah.”
Sudah barang tentu, frasa “diriku” dan “orang-orang sekitarku” di atas bukanlah sebuah vonis. Itu hanyalah refleksi kerendahan hati. Habib Hasan al-Bahr adalah ulama besar yang telah mencapai taraf Qutub. Mana mungkin beliau meneledorkan shalat. Begitu pula orang-orang sekitar beliau yang nota bene murid-murid beliau semacam Habib Idrus bin Umar al-Habsyi. Penanda “keberatan memelihara shalat lima waktu dan berjamaah” tepatnya ditujukan kepada kita semua, manusia-manusia akhir zaman yang telah dikurung gemerlap dunia. Habib Hasan kemudian meneruskan tausiyahnya,
“Ketahuilah, sesungguhnya, musibah yang terdahsyat, kekejian yang tesesat, dan aib yang terhina, adalah mengabaikan shalat, melalaikan fardu Jumat dan jamaah. Bagaimana tidak, shalat adalah fasilitas yang dimediasi Allah SWT untuk mengangkat harkat manusia, meleburkan dosa-dosa mereka, dan mengunggulkan manusia atas makhluk-makhluk lain di muka bumi dan langit -Tapi, ia telah disia-siakan sendiri oleh manusia.”
“Tatkala seseorang mudah meninggalkan shalat, atau harta dunia memalingkan dirinya dari shalat, itu artinya ia telah digariskan menjadi manusia yang celaka. Takdir menetapkan dirinya bakal mengecap azab yang pedih tak terkira, kehidupannya akan terus merugi, malapetaka senantiasa merundungnya, dan pada akhirnya nanti penyesalan panjang bakal melingkupi hari-harinya.”
Nauzu billahi min zalik. Semoga kita tak tergolong manusia-manusia yang dinarasikan Habib Sholeh itu. Makhluk lemah semacam kita mana mungkin kuat menanggung siksa-siksa-Nya. Saat jari tertusuk jarum, kita meringis kesakitan. Bagaimana bila sebongkah gada yang besarnya memenuhi langit dan bumi meremukkan belulang kita?
“Tiada disangsikan, orang yang meninggalkan shalat sangat dibenci Allah. Dikhawatirkan ia mati tanpa memanggul iman. Neraka Jahim bersiap menyambutnya. Ia tecatat sebagai manusia yang dijauhkan dari rahmat-Nya. Bumi dan langit pun enggan menerima kehadirannya.”
“Manakala seseorang yang melalaikan shalat hendak mengunyah sesuap makanan, tanpa disadari, makanan di tangannya itu menyerukan jeritan-jeritan. “Semoga Kamu dijauhkan dari rahmat Allah, wahai musuh Allah. Kamu memakan rizki Allah, tapi Kamu enggan melaksanakan fardu-fardu-Nya.” Itu makanannya. Lalu tatkala ia beranjak keluar rumah, rumahnya itu mencibir lantang, “Rahmat Allah takkan menyertaimu. Kamu takkan menjejakkan kebaikan apa-apa. Pergilah! Mudah-mudahan kamu kembali dalam keadaan tidak selamat.”
Sebuah ulasan sarat hikmah dari Habib Hasan. Di dalamnya termuat ilmu-ilmu yang tak bisa dipahami sembarang orang: Makanan menjerit-jerit, rumah menghardik-hardik. Itu semua adalah ilmu rahasia yang hanya bisa dimiliki para auliya, kekasih Allah SWT.
Khusuk
Salah satu esensi shalat adalah khusuk. Penilaian diterima tidaknya suatu shalat diukur dengan kadar kekhusukan seseorang. Sayang, hal ini kurang diperhatikan. Dalam lanjutan wasiatnya, Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr menjelaskan pentingnya khusuk dalam shalat.
“Jagalah shalat lima waktu dalam jama’ah. Jika di dekat rumahmu terdapat sebuah masjid, tunaikanlah di situ. Kemudian ingat, ketika kamu telah bertakbir memasuki shalat, kosongkanlah hatimu dari kerumitan-kerumitan dunia. Hadirkanlah hatimu. Bayangkan dirimu berdiri di hadapan Sang Wujud yang di genggaman-Nya kunci-kunci rizki. Pusatkanlah konsentrasimu kepada Allah SWT, sepenuhnya. Nikmatilah dialog ruhmu dengan Penciptamu. Jika tiba-tiba saja hatimu terbawa lupa, segeralah sadar. Berandailah, seumpama dirimu berbicara dengan seseorang, lalu kamu berpaling begitu saja tanpa permisi. Bukankah ia akan murka? Bagaimana bila kamu ajak bicara adalah Penguasa seluruh semesta. Betapa kurang ajarnya bila kamu tidak mengindahkannya. Shalat, sekali lagi, adalah wahana dialog antara makhluk dengan Allah subhanahu wata’ala.”
Kemudian Habib Sholeh menekankan pentingnya memperhatikan shalat orang-orang di sekitar kita.
“Lazimilah shalat. Raihlah fadilah awal waktu. Perintahkan anak-anak serta sanak keluargamu untuk menjaga shalat, begitu pula mereka yang berada dalam naunganmu, semisal pekerja dan pembantumu. Dengan shalat kamu akan beroleh ridha Allah SWT. Barang siapa memperoleh ridha Allah, berarti ia berhasil menggapai segala kebajikan.”
Mari kita laksanakan shalat. Tak banyak-banyak. Cukup lima waktu dalam sehari. Usia kita telah banyak tersia-siakan. Alangkah bijak bila kita sisihkan sebagian untuk investasi akhirat. Di sana kita butuh bekal banyak. Dengan persiapan morat-morat ini, peluang sukses kita sedikit. Tinggal satu yang kita harap: ampunan-Nya. Dan ampunan itu hanya kita dapatkan lewat shalat     ...      diambil dari  sumber forsan salaf bagi anda yg mengunjungi blog ane untuk menambah wawasan silahkan klik forsan salaf                                                                               

Sabtu, 15 Oktober 2011

pahala yg tiada batas

Kalam Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi
Negeri ini tengah muram. Bencana demi bencana menerpa silih berganti. Kasihan saudara kita yang tertimpa. Mereka menderita, sedih, dan mengharap uluran tangan. Kita musti berempati. Ibarat satu raga, bila seorang muslim merasakan sakit, muslim yang lain turut merasakan perihnya itu.
Tapi mereka tak perlu berkecil hati. Setiap bencana memendam berlaksa hikmah. Yang Maha Kuasa telah menyediakan pahala yang jumlahnya tak terhingga untuk mereka. Dan pahala itu bisa mereka petik dengan satu sikap yang kita yakin mereka punya: sabar.
Dengan bijak, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi mengurai kesabaran dalam kalam-kalamnya. Coba kita simak penuh seksama.
“Sabar adalah puncak Islam dan iman, sekaligus hakikat agama yang semestinya. Sabar berarti menahan dan menabahkan diri agar senantiasa berteguh pada tuntunan syariat. Dari satu sisi, sabar dan syukur masih satu makna. Akan tetapi, di sisi lain, sabar merupakan esensi syukur. Syukur tak bakal sempurna tanpa dibarengi kesabaran. Seorang yang bersabar, berarti ia telah mensyukuri nikmat-nikmat yang dianugerahkan kepadanya.
Insan mukmin, tatkala harus memilih antara kepentingan individu dan agama, lalu ia mengedepankan agama dari egonya, maka ia telah melintasi maqam sabar dalam sikapnya itu. Dalam kitab-Nya yang agung, Allah SWT berulang kali menyitir dan menyanjung kesabaran serta pelakunya. Begitu pula baginda Rasul, dalam hadis-hadisnya, juga para pesuluk jalan Allah SWT.
Sabar memiliki beragam arti. Setiap laku menuntut kesabaran tersendiri. Ada sabar dari godaan maksiat dan hawa nafsu, sabar menjalani ibadah, sabar tatkala didera musibah, dan ada sabar untuk tidak berkeluh kesah kepada sesama makhluk. Adapun menyambat kepada Sang Kuasa itu adalah perbuatan elok.
Dalam salah satu firman, Allah SWT menyitir munajat Nabiyullah Ayub kepada-Nya,

أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“(Ya Tuhanku), Sesungguhnya Aku Telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”.
Allah SWT kemudian memuji dan mengakui ketabahan Nabi Ayub A.S,

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا

“Sesungguhnya kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar.”
Kedua ayat tersebut mengilustrasikan bahwa Allah SWT memberikan cobaan kepada makhluk yang dicintai-Nya karena Ia memang ingin mendengar ratapannya, hanya kepada-Nya.
Ada begitu banyak faedah kesabaran. Ayat-ayat suci serta hadis nabawi berulang kali menyebutkan keutamaan sabar. Allah SWT berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
Ketahuilah, pahala kesabaran tiada batas maupun ukuran. Orang sabar bakal mendapat balasan terbaik dari-Nya. Allah SWT berfirman lagi,

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Mereka, orang-orang yang memiliki sikap sabar, adalah panutan umat. Dalam Al Quranul Karim, Allah SWT menyebut maqam sabar di lebih dari tujuh puluh ayat.
Mengenai keistimewaan sikap sabar, Rasulullah SAW menyabdakan, “Sabar adalah separo iman.” Beliau menambahkan pula, “Barangsiapa telah memperoleh keyakinan dan sifat sabar, maka kelak tak dipertanyakan lagi apakah ia kerap bangkit untuk salat malam atau banyak melakukan puasa sunnah.”
Sabar adalah investasi akhirat. Ketika ditanya tentang keimanan, Rasulullah pernah memberikan jawab, “Iman adalah sabar dan mudah memaafkan.”
HIKMAH
“Pangkal dari rasa syukur adalah kesenangan, adapun pangkal dari kesabaran adalah kesedihan. Namun, terkadang, keduanya bermuara dari satu hal yang sama: musibah, salah satunya.
Untuk sebagian orang, musibah tak ubahnya suatu kenikmatan, dan karena itu, ia mensyukurinya. Betapa tidak. Musibah adalah azab yang ditimpakan lebih cepat di dunia. Dan itu berarti anugerah. Sebab kelak ia akan terbebas dari siksa akhirat—yang sejatinya lebih pedih dan lebih abadi. Musibah juga merupakan wujud tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman. Seakan-akan, dengan musibah itu, Allah SWT mengingatkan manusia: untuk apa kau mencintai dunia? Apa yang bisa diharap dari kesenangan dunia? Kenapa hatimu merasa nyaman dengan dunia? Inilah perhatian dari-Nya. Tiada bimbingan yang lebih indah dari bimbingan-Nya. Karenanya, tiap insan patut mensyukuri. Di balik bencana yang tampak oleh mata, tersimpan serpihan-serpihan hikmah yang luhur dari-Nya.”
Indah benar kalam-kalam Habib Ahmad bin Zein. Beliau berkata dengan kapasitasnya sebagai manusia yang teramat dekat dengan Yang Maha Kuasa. Setiap kalimat memendarkan cahaya. Insya Allah, ruhani kita yang gundah bakal terlipur olehnya, dan kesabaran bakal menjadi landasan bagi setiap tindak tanduk kita...
disarikan dari sumber forsansalaf

Jumat, 07 Oktober 2011

qonaah

Kalam Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi
Qana’ah adalah suatu sikap merasa cukup dengan pembagian rizki yang diberikan Allah, dan menyandarkan kebutuhan hanya kepada Allah SWT. Seorang yang qana’ah akan memohon hanya kepada-Nya, tidak kepada yang lain. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad bersyair:
Andai dirimu ridha dengan bagian yang dijatahkan kepadamu, niscaya dirimu hidup penuh kenikmatan.
Namun bila dirimu tiada pernah ridha, maka dirimu senantiasa dalam kegundahan.
Qana’ah adalah awal dari sikap ridha. Setiap orang yang memiliki sikap qana’ah pasti mendapatkan bagian dari ridha. Sikap qana’ah akan tumbuh bila seseorang cermat dalam berinfak serta tidak berfoya-foya. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Orang yang cermat berbelanja akan dicukupkan kebutuhannya oleh Allah SWT, sedangkan orang yang mubazir akan difakirkan oleh Allah SWT.”
Seseorang akan memiliki sikap qana’ah bila ia benar-benar pasrah pada pembagian Allah SWT. Dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS;Hud ayat 6)
Sikap pasrah semacam ini adalah ilmu, cermat berinfak adalah amal. Sementara itu, pondasi qana’ah adalah kesabaran, pendek angan, memahami bahaya kekayaan dan keutamaan qana’ah. Dalam syair yang lain, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berpesan:
Sungguh, qana’ah adalah harta yang takkan pernah punah.
Terapkanlah saudaraku, moga engkau beroleh petunjuk. Hidup dengan qana’ah itu asyik.
Hiduplah dengan qana’ah tanpa rasa rakus dan tamak.
Engkau akan mulia, berwibawa dan bermartabat luhur.

Maka jelaslah bahwa qana’ah adalah perilaku menepis rasa rakus dan tamak pada dunia. Ada pun pendek amal adalah kesadaran hati akan begitu dekatnya mati dan segeranya masa peralihan dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad telah mengulas permasalahan ini dengan begitu panjang di dalam karyanya, An-Nashaihud Diniyah, begitu pula Imam Ghazali di dalam kitabnya, Minhajul Abidin.
Suatu kali Baginda Rasul SAW ditanya mengenai siapa manusia yang paling pandai dan paling mulia. Beliau menjawab, “Yang paling sering mengingat mati dan yang paling semangat mempersiapkan diri untuk mati. Merekalah manusia yang pandai. Mereka melenggang dengan kemuliaan dunia dan akhirat.” Seorang sufi bernama Rabi’ bin Khaitsam pernah berkata, “Andai ingat mati itu terpisah dari hatiku, niscaya hatiku bakal rusak.” Baginda Rasul SAW pernah bersabda, “Permulaan umat ini selamat berkat sikap yakin dan zuhud, sementara akhir umat ini hancur dikarenakan sikap bakhil dan panjang angan.” Beliau pernah berdoa, “Aku berlindung kepada-Mu dari angan-angan yang bisa menghalangi amal yang baik.”
Sesungguhnya angan-angan yang dicela itu adalah angan-angan yang bisa menghambat perbuatan baik. Tidak semua angan-angan tercela. Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad menerangkannya dengan detail dalam kitab Nashaihud Diniyah. Angan-angan yang tercela muncul karena kebodohan, cinta dunia dan terlena dengan syahwat-syahwatnya. Penawar kebodohan semisal itu adalah perenungan yang sungguh-sungguh akan arti kematian. Manusia memang harus pandai merenungi kematian. Baginda Nabi SAW bersabda, “Cintailah orang yang kamu cintai, tapi ingatlah bahwa kamu bakal berpisah dengannya!”
Baitul Makmur
Cinta dunia bisa diobati dengan pengukuhan iman kepada Allah SWT dan hari akhir, serta kesadaran bahwa dunia itu fana, hina dan penuh kebencian. Tanda orang yang memiliki pendek amal adalah semangatnya yang tinggi untuk beramal ibadah dan senantiasa siap menyongsong kematian. Resapilah satu sabda Nabi SAW berikut ini, “Manfaatkanlah lima keadaan sebelum datangnya lima keadaan yang lain: masa mudamu sebelum tuamu; sehatmu sebelum sakitmu; kecukupanmu sebelum fakirmu; waktu luangmu sebelum kesibukanmu; hidupmu sebelum matimu.”
Malik bin Dinar kerap berbisik kepada dirinya sendiri, “Bergegaslah, sebelum perkara itu (maut) tiba!” Ia mengulang perkataan itu enam puluh kali dalam sehari. Ketika memberikan nasehat, ia seringkali berkata, “Segeralah! Segeralah! Bila nafasmu telah tertahan, maka segala amal kebajikan akan terputus darimu.” Ia kemudian membaca sepotong ayat yang berbunyi:

إِنَّمَا نَعُدُّ لَهُمْ عَدًّا

“Karena sesungguhnya kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.”
Nafas ialah saat-saat yang lembut yang akan selalu mengiringi manusia sepanjang hidupnya. Sebagian kaum arifin menyebutkan bahwa di setiap satu jam manusia menarik nafas seribu kali. Jadi dalam sehari semalam ia lazim menarik dua puluh empat ribu nafas. Sebagian yang lain mengungkapkan bahwa dalam sehari terbesit tujuh puluh ribu lintasan hati di dalam sanubari, jumlah yang sama dengan banyaknya malaikat yang memasuki baitul makmur yang tak akan keluar lagi. Tidak diragukan lagi, hati kita adalah baitul makmur, rumah yang dimakmurkan, dengan kebaikan atau dengan keburukan.
Di antara orang-orang yang telah mencapai makrifat itu senantiasa berzikir sebanyak hitungan nafasnya setiap hari, yakni dua puluh empat ribu kali. Faedah ini telah aku terapkan. Meski hitungan nafas masing-masing orang tidak sama, namun kita tahu bahwa akhir hitungan itu adalah berhentinya nafas, terpisahnya keluarga dan masuknya jasad ke dalam kubur.
Nasehat Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi di atas disampaikan beratus tahun silam, namun tetap sangat mengena dengan situasi umat Islam sekarang ini. Umat Islam di era ini telah benar-benar larut ke dalam kecintaan kepada dunia. Cinta mereka begitu menggebu-gebu hingga tiada lagi yang tersisa di dalam benak mereka selain ambisi untuk menumpuk kekayaan, kehormatan, dan kenikmatan-kenikmatan sesaat. Mereka tak lagi mengingat kematian, sesuatu yang pasti memupuskan dunia dan mengantarkan mereka menuju kehidupan yang hakiki. Di manakah sikap qana’ah saat ini? Siapakah gerangan yang masih kuat berpegang pada sikap itu di tengah derasnya arus kehidupan materialistik yang mendera umat manusia…..?

 di sarikan dari web forsan salaf