qur'an

Minggu, 13 Mei 2012


Valentine`s Day : “Haul”-nya Seorang Pendeta MUKADDIMAH Umat Islam di Indonesia, khususnya warga NU, selalu mengadakan Haul dalam rangka mengenang sejarah atau biografi seorang yang ditokohkan. Acara itu diisi dengan pembacaan kalimat tayyibah, tahmid, tahlil. bahkan tidak jarang juga diisi dengan pembacaan maulid serta ceramah agama dari pemuka-pemuka agama yang hadir di situ. Oleh sebab itu, momentum Haul selalu dinanti oleh umat Islam dengan tujuan, menapaktilasi dan meneladani rekam jejak perjuangan orang yang di-Haul-i. Akan tetapi, saat ini, peringatan Haul bukan hanya monopoli umat Islam semata. Dalam beberapa tahun belakangan, ada acara yang terlihat lebih semarak dan membahana suasananya yaitu peringatan Valentine`s Day (V-Day). V-day sering diidentikkan sebagai hari kasih sayang; hari menumpahkan segala perasaan kepada kekasih yang dicintai. Banyak cara dilakukan untuk menambah semarak acara V-Day, di antaranya, acara dansa-dansi, pemberian coklat, hadiah bunga, memakai pakaian serba berwarna merah muda. Lebih dari itu, momen ini juga dijadikan ajang pembuktian ‘cinta’ yang memuakkan dengan free sex. Sungguh sebuah peringatan hari kasih sayang yang berbahaya. Terlebih yang menjadi korban dari intervensi budaya negatif ini adalah para pemuda (muslim) tumpuan agama. Yang lebih menyedihkan, ternyata acara V-Day mendapat promosi besar-besaran dari berbagi media massa. Tidak ketinggalan pula Mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan juga bersolek dengan mengemas acara bertema kasih sayang. Dari semua itu, kita mesti waspada, sebab V-Day merupakan salah satu ritual yang diupacarai demi mengenang kematian seorang pendeta. Untuk itu, kita harus mengetahui latar belakang V-Day, hukum merayakannya dan dampak dari perayaan itu sendiri. SEJARAH V-DAY Banyak versi mengenai V-Day. Versi-versi itu berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Asal mula hari Valentine tercipta pada jaman kerajaan Romawi. Menurut adat Romawi, 14 Februari adalah hari untuk menghormati Juno. Ia adalah ratu para dewa dewi Romawi. Rakyat Romawi juga menyebutnya sebagai dewi pernikahan. Di hari berikutnya, 15 Februari dimulailah perayaan ‘Feast of Lupercalia. Pada masa itu, kehidupan belum seperti sekarang ini, para gadis dilarang berhubungan dengan para pria. Pada malam menjelang festival Lupercalia berlangsung, nama-nama para gadis ditulis di selembar kertas dan kemudian dimasukkan ke dalam gelas kaca. Nantinya para pria harus mengambil satu kertas yang berisikan nama seorang gadis yang akan menjadi teman kencannya di festival itu. Tak jarang pasangan ini akhirnya saling jatuh cinta satu sama lain, berpacaran selama beberapa tahun sebelum akhirnya menikah. Dibawah pemerintahan Kaisar Claudius II, Romawi terlibat dalam peperangan. Claudius yang dijuluki si kaisar kejam kesulitan merekrut pemuda untuk memperkuat armada perangnya. Ia yakin bahwa para pria Romawi enggan masuk tentara karena berat meninggalkan keluarga dan kekasihnya. Akhirnya ia memerintahkan untuk membatalkan semua pernikahan dan pertunangan di Romawi. Saint Valentine yang saat itu menjadi pendeta terkenal di Romawi menolak perintah ini. Ia bersama Saint Marius secara sembunyi-sembunyi menikahkan para pasangan yang sedang jatuh cinta. Namun aksi mereka diketahui sang kaisar yang segera memerintahkan pengawalnya untuk menyeret dan memenggal pendeta tersebut. Ia meninggal tepat pada hari keempat belas di bulan Februari pada tahun 270 Masehi. Saat itu rakyat Romawi telah mengenal Februari sebagai festival Lupercalia, tradisi untuk memuja para dewa. Dalam tradisi ini para pria diperbolehkan memilih gadis untuk pasangan sehari. Dan karena Lupercalia dimulai pada pertengahan bulan Februari, para pastor memilih nama Hari Santo Valentinus untuk menggantikan nama perayaan itu. Sejak itu mulailah para pria memilih gadis yang diinginkannya bertepatan pada hari Valentine. Meskipun demikian, masih banyak versi terkait sejarah V-Day. Latar belakang V-Day bisa disimak di dalam The World Encyclopedia, dan The Chatolic Encyclopedia Vol. XV MENGGAPAI CINTA SEJATI Adalah sebuah ilusi hidup tanpa cinta. Kata seorang sastrawan ‘sufi’ Indonesia, Kuswaidi Syafi`i (2003 : ix), cinta merupakan cahaya segala amal, bobot segala upaya, pamor segala tindakan. Cinta pastilah senantiasa muncul melalui segelintir orang pilihan-Nya, sebab cinta sampai kapan pun tetaplah merupakan satu-satunya pilihan hidup yang ideal, yang sanggup menyuguhkan kebeningan dan kesegaran batin, yang mampu meneruskan estafet nilai-nilai kemanusiaan universal, yang bisa memperkukuh nilai-nilai kemanusiaan universal, yang bisa memperkukuh tali sambungan dengan-Nya. Karena itu, lanjutnya, hidup tanpa cinta pasti menjadi ambruk. Persoalannya, bagaimana cara menyalurkan cinta pada tempat yang sebenarnya. Mahkota cinta sering ditaruh dengan sekenanya. Atas nama cinta dua insan yang berlawanan jenis saling memadu kasih yang menjijikkan di hotel kelas melati hingga hotel berbintang, atas nama cinta sepasang kekasih yang sedang kasmaran menyalurkan syahwatnya tanpa ikatan pernikahan, atas nama cinta pula si gadis merelakan kesuciannya direngut oleh pacar “berhidung belang”. Padahal, banyaknya perilaku menyimpang dalam mengartikan cinta berakibat lumpuhnya akal dan kalbu. Dalam diri manusia sendiri, terkumpul lima komponen dasar : Ruh, hati, akal, Dzauq (perasaan), dan nafsu. Celakanya, banyak kaum muda dan dewasa yang mengaktifkan nafsu semata, sementara ruh, hati, akal, dan dzauq tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Di atas segalanya, baginda Rasul saw pernah bersabda, اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْماَنُ اِرْحَمُوْا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ “Orang-orang penyayang akan dikasihani oleh Tuhan Yang Maha Penyayang, Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah mahkluk yang ada di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang di langit”. Makna hadits ini adalah (Nawawi Al Jawi:1426), Orang-orang yang menyayangi segenap mahkluk di bumi, baik manusia maupun hewan yang dilindungi, yaitu memperlakukan mereka dengan perlakuan baik, maka Allah akan menyayangi mereka yang melakukan perbuatan itu. Lebih dari itu, cinta merupakan naluri manusia. “Tiada manusia yang tiada memiliki cinta, tiada kebaikan bagi orang yang tiada cinta. Tiada keindahan dan kenikmatan di dunia jika kita menyendiri tanpa perasan cinta,” demikian cetus Al Abbas bin Al Ahnaf seperti dikutip Ibnul Qoyyin Al Jauziyah dalam Raudhatul Muhibbin wa Nuzhatul `Asyiqin. SIKAP KITA? Sikap kita mestilah berbanding lurus dengan sikap yang mencerminkan jati diri seorang muslim. Perayaan hari kasih sayang atau V-Day tidak lebih sekedar upaya peringatan kematian seorang pendeta yang dipandang sebagai ‘martir’ cinta. Berbicara tentang cinta dan kasih sayang, Islam tidak kehabisan bahan untuk itu. Terlebih salah satu pondasi berdiri tegaknya ajaran Islam karena Rahmatan lil Alamin yang salah satunya memprioritaskan hak (cinta) kepada Allah dari yang lain. Hanya saja, alih-alih menjajal cinta kepada Allah justru cinta kepada sesama manusia sering disalahtafsirkan dengan berpacaran, ber-kholwah (berdua-duaan) di tempat-tempat ramai atau sepi, melakukan hubungan biologis pra-nikah. Akibat dari peringatan V-Day ini lahirlah anak-anak tanpa bapak disertai merajalelanya aborsi. Paling tidak, sudahkah kita membaca, mengetahui dan mengamalkan firman Allah SWT dalam surah Al Isra`36 : Ÿوَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertanggungjawabannya”. Di dalam Islam tidak ada hari raya selain hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Lagi pula, ungkapan cinta dan kasih sayang tidak perlu diutarakan pada waktu-waktu tertentu. Tidak perlu menunggu tanggal 14 Februari. Sebab, cinta adalah naluri manusia yang diberikan Allah kepada setiap insan. Jadi, kapan dan di mana pun juga, ekspresi cinta bisa diungkapkan setiap saat. Sementara itu, Rasul bertutur : “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk dari kaum tersebut”. Sabda Nabi saw lainnya : “Kamu akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak kamu tetap mengikuti mereka”. Kami bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah yang anda maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani?” Rasulullah menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR. Bukhari-Muslim) V-Day adalah bencana budaya buat kita semua. Meski begitu, belumlah cukup sekedar fatwa haram tanpa dicarikan solusi yang memadai sehingga kawula muda bisa meletakkan cinta sesuai pada tempatnya. Akhirnya, peringatan V-Day sudah waktunya kita eliminasi lalu kita jadikan sebagai monumen kecelakaan sejarah yang tidak perlu ditangisi apalagi diikuti.

Kamis, 23 Februari 2012

Sejarah Awal Mula Umat Muslim di China

Orang China mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti ‘agama yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran ‘Ma-hia-wu’ (Nabi Muhammad SAW).
Sejarah Masuknya Islam di China
Ajaran Islam pertama kali tiba di China pada sekitar tahun 615 M. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk membawa ajaran Illahi ke daratan China (Konon, Sa’ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M, dan kuburannya dikenal sebagai Geys’ Mazars).

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang. Kaisar ini, kemudian memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Kanton, yang merupakan masjid pertama di daratan Cina.
Ketika Dinasti Tang berkuasa, China tengah mencapai masa keemasan, sehingga dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

Di dalam kitab sejarah Cina, yang berjudul Chiu T’hang Shu diceritakan Cina pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih (Arab). Orang-orang Ta Shih ini, merupakan duta dari Tan mi mo ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (Khalifah Utsman bin Affan).
Sementara itu, Buya HAMKA didalam bukunya Sejarah Umat Islam menulis, pada tahun 674M-675M, Cina kedatangan salah seorang sahabat Rasulullah, Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina, Muawiyah melakukan observasi di tanah Jawa, yaitu dengan mendatangi kerajaan Kalingga.
Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa Dinasti Umayyah ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa Dinasti Abbasiyah dikirim sebanyak 18 duta.



Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi.
Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.
Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut.
Orang-orang Bukhara itu lalu menetap di daerah antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias ‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapak’ komunitas Muslim di China.
Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq (Sumber : Sejarah Islam di Negeri Tirai Bambu ).
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, ada lagi Lan Yu Who, sekitar tahun 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yang bernama Laksamana Cheng Ho.

sumber : http://kanzunqalam.wordpress.com/2011/01/13/sejarah-awal-mula-umat-muslim-di-china/

Rabu, 01 Februari 2012

kiat meraih ilmu yang mamfaat

pelajar muslim

Kalam habib Ali bin Hasan al-Attas

Kiat Meraih Ilmu Manfaat

Meraih ilmu yang bermanfaat tidaklah mudah. Ribuan aral melintang siap menghadang. Otak brilian bukanlah jaminan. Malahan, tak sedikit orang-orang pintar yang mendalami ilmu agama bukannya mendapatkan ilmu bermanfaat, melainkan menjadi oknum-oknum ulama yang justru merongrong akidah agama.

Oleh karena itu, seorang murid yang hendak melangkahkan kakinya untuk menuntut ilmu haruslah terlebih dahulu mengetahui metode belajar yang tepat. Dalam hal ini panduan dari orang tua, para guru, atau mereka yang telah sukses sangatlah diperlukan.

Faktor utama penyebab gagalnya seseorang murid meraih ilmu Rasulullah Saw adalah metode belajar yang keliru. Salah guru, salah kitab dan kesalahan lainnya akan menyebabkan seorang murid salah jalan pula. Berikut adalah panduan tepat dalam meraih ilmu yang bermanfaat dari al-Imam Habib Ali bin Hasan al-Attas Shohib al-Masyhad.

“Ketahuilah sesungguhnya ilmu pengetahuan ibarat samudera yang tiada bertepi. Luqman al-Hakim pernah ditanya oleh puteranya, “Siapakah yang mampu menampung semua ilmu itu?” “Seluruh manusia” jawab al-Hakim. “Akan tetapi itu sebatas ilmu yang diberikan kepada manusia. Sedangkan Allah menurunkan ilmu di dunia ini dalam bagian yang sedikit saja.” Lanjutnya.

Oleh karena itu, dalam menuntut ilmu, prioritaskanlah ilmu-ilmu yang penting dan bersifat urgen. Mulailah dengan dengan mempelajari kitab-kitab ringkasan (Mukhtasar). Seperti ringkasan Abu Suja’ yang sudah diakui kualitasnya, disertai kitab Bidayatul Hidayah karya al-Ghazali, kitab al-Adzkar karya Imam an-Nawawi. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari kitab al-Minhaj karya an-Nawawi, disertai syarh-syarahnya juga apabila memungkinkan.

Setelah itu, pelajarilah kitab Risalah Qusyairiyah karya Syaikh Abdul Karim al-Qusyairi yang merupakan kitab pedoman bagi pengikut jalan ahlussunnah wal jama’ah. Demikian halnya kitab-kitab karya Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad. Karya-karyanya sangat bagus dan mendidik, terutama kitab an-Nashaih ad-Dinniyah. Kemudian pelajari pula kitab al-‘Awarif karya Syaikh Umar bin Muhammad as-Suhrawardi dan kita Ihya’ Ulumiddin karya Hujjatul Islam al-Ghazali.

Galilah ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu alatnya yang akan membuatmu mengerti makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dan seandainya mampu, berusahalah menghafalkan Al-Qur’an. Karena terdapat keutamaan yang besar di dalam menghafalkannya. Rasulullah s.a.w bersabda, “Barangsiapa menghafalkan Al-Qur’an maka maqam nubuwah diturunkan ke dalam dirinya, hanya saja ia takkan pernah mendapatkan wahyu.” Bahkan Nabi Musa a.s pernah melukiskan sifat-sifat umat Nabi Muhammad s.a.w di dalam munajatnya. “kitab-kitab suci mereka ada di dalam dada mereka, sedangkan selain mereka membaca kitab suci melalui mushaf-mushaf.” Katanya. Imam Syafi’I berkata, “ apabila seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada qurra’ (orang yang ahli membaca Al-Qur’an), maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Dan apabila ada seseorang bersedekah dengan niat diberikan kepada orang yang paling berakal, maka sedekah itu diberikan kepada orang-orang yang berzuhud dari dunia.”

Diantara kitab-kitab tafsir yang sangat penting untuk dibaca dan dipelajari adalah tafsir karya Imam al-Husein bin Mas’ud al-Farra’ al-Baghawi. Tafsir al-Baghawi ini adalah bekal untuk menyelami lautan makna Kalamullah. Para imam Bani Alawi sangat menganjurkan para penuntut ilmu agar membaca tafsir al-Baghawi tersebut.

Jika memungkinkan, sempatkanlah diri mempelajari kitab-kitab adab seperti nahwu, lughot dan selainnya. Janganlah enggan membaca dan menelaahi kitab Maqaamaatul Hariri setelah mempelajarinya dan mendapatkan penjelasan dari seorang guru yang kompeten. Kitab tersebut menjadi referensi para salaf. Syaikh Ahmad bin ‘Ujail berkata, “Maqamatul Hariri adalah sepiring manisan. Kami telah mengambil manfaat yang sangat besar darinya.”

Bacalah pula karya al-Hariri yang lain, kitab al-Malhah. Sebagian ulama meyakini bahwa al-Hariri menyimpan sir-nya dalam kitab tersebut. Kitab ini disyarahi oleh Syaikh Abubakar bin Ali al-Qurasyi. Dan kitab mughni al-labib, karya Syaikh Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Hisyam al-Anshori. Kitab mughni al-labib ini adalah kitab yang mengandung ilmu pengetahuan yang luas.

Dalam bidang sirah, bacalah kitab al-Iktifa’ karya al-Kula’i dan sirah karya Ibnu Sayid an-Nas.

Dalam bidang tarikh, bacalah kitab Mir’atul Janan wa ‘Ibratal Yaqdhan, karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin As’ad bin Ali al-Yafi’i. dan kitab al-Khamis karya Imam Abul Hasan al-Bakrie dan kitab Thabaqat al-khawwas karya as-Syarji.

Dalam bidang hadits, bacalah kitab Shahih Bukhori dan Muslim, Sunan Abu Dawud, Turmudzi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Jami’ as-Shaghir karya Imam as-Suyuti dan kitab Taisiirul Wusul karya ad-Diba’i al-Yamani.

Untuk mengetahui hak-haknya Nabi Saw, bacalah kitab as-Syifa’ karya al-Qhadi ‘Iyadh. Sedangkan untuk mengetahui hak-hak keluarga Nabi Saw, bacalah kitab al-Iqdun Nabawi karya Habib Syaikh bin Abdullah al-‘Aydrus, kitab al-Jawharus Saffaf karya Syaikh al-Khatib, kitab al-Masra’ur Rawi karya sayid Muhammad bin Abubakar as-Syilli, dan kitab al-‘Ainiyah karya Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

Selain kitab-kitab yang telah disebutkan, bacalah juga kumpulan-kumpulan kasidah yang dilazimi oleh para salaf. Diantaranya kasidah al-Hamaziyah dan Burdah karya Imam al-Bushiri beserta syarahnya yang ditulis oleh Syaikh Ibnu Hajar dan Imam al-Mahalli. Dan tatkala kalian mendapatkan permasalahan atau hujan yang tak kunjung diturunkan, bacalah kasidah al-Munfarijah karya Imam al-Bushiri. Maka dengan seizin Allah, segala permasalahan kalian akan mendapatkan jalan keluar dan hujan akan diturunkan.

Janganlah kalian menuntut ilmu kepada sembarangan orang. Akan tetapi carilah seorang guru (syaikh) yang memenuhi tujuh kriteria. Pertama, ilmu pengetahuannya luas. Kedua, sikapnya arif dan rendah hati. Ketiga, memiliki pemahaman yang dalam. Keempat, akhlak dan nasabnya mulia. Kelima, memiliki mata hati yang tajam. Keenam, berhati baik dan riwayat hidupnya baik. Ketujuh, memiliki mata rantai keilmuwan yang bersambung kepada rasulullah s.a.w. dan apabila ada seorang sayid (cucu nabi Saw) memenuhi tujuh kriteria tersebut , maka ia adalah seorang guru yang sempurna. Rasulullah s.a.w bersabda, “Ulama dari golongan Quraiys, ilmunya memenuhi seluruh penjuru bumi.”

Jika kalian mendapatkan seorang guru yang memenuhi kriteria di atas, maka serahkanlah diri kalian kepadanya, sandarkan semua urusan-urusanmu yang penting pada keputusannya, bersikaplah tawadhu kepadanya, jadikanlah ia sebagai perantara kalian untuk sampai kepada Allah, ambillah ijazah riwayat ilmu secara menyeluruh darinya, dapatkanlah ilbas khirqah dan talqin kalimat la ilaaha illallah darinya, ketahui dan penuhilah hak-haknya seperti yang tersebut dalam kitab Ihya’ ulumiddin karya Imam al-Ghozali dan kitab at-Tibyan karya Imam an-Nawawi.

Dan sudah sepantasnya apabila kalian menghormati guru kalian melebihi ulama-ulama yang lain. Dan janganlah sesekali menentang keputusan gurumu dalam setiap persoalan baik yang dhahir maupun yang bathin, agar kalian sampai ke tujuan. Abdullah bin Abbas berkata, “Aku menghinakan diri sewaktu menuntut ilmu, dan diriku menjadi mulia setelah meraihnya.” Bahkan ia tak malu mencium telapak kaki gurunya, Zaid bin Tsabit al-Khazraji.

Diceritakan pula bahwa kedua putera kesayangan Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun saling berebutan memasangkan sandal guru mereka, al-Kasa’i. sampai-sampai al-Kasa’i menengahi mereka dengan memberikan jalan keluar, yaitu masing-masing memasangkan satu sandal.

Dan janganlah lupa, apabila kalian telah mendapatkan ilmu, maka amalkanlah semampu kalian, disertai selalu memohon pertolongan kepada Allah Swt. “

Rabu, 25 Januari 2012

merenungi keajaiban alquran

Betapa bergeloranya keinginan dan hasrat saya sejak waktu-waktu yang lalu untuk dapat menulis di situs kesayangan kita ini sesuatu yang bertalian dengan kebesaran dan keistimewaan Al-Qur’an. Hari ini saya sangat bersyukur kepada Allah karena akhirnya Allah membukakan kesempatan bagi saya untuk itu.

Di dalam surat An-Nisaa’ ayat 82 Allah mengingatkan:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا Ayat ini memberikan peringatan kepada manusia bahwa Al-Qur’an semata-mata datang dari Allah, sebab sekiranya saja ia berasal dari selain Allah, niscaya manusia akan mendapati di dalamnya berbagai macam perselisihan.

Ayat di atas dapat dijadikan sumber sanggahan bagi orang-orang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an, baik di masa-masa dahulu atau pun terhadap mereka yang senantiasa menyudutkan Islam dan Al-Qur’an di saat ini.

Terbersit dari ayat yang saya kutipkan di atas bahwa merenungi Al-Qur’an dapat membuat kita menemukan kedamaian hati. Mengapa demikian? Sebab kitab Allah ini sunyi dari segala bentuk kontroversi atau perselisihan. Berbeda dengan buku-buku ciptaan manusia, seberapa pun kehebatan penulisnya, selalu saja terbuka untuk menjadi bahan perdebatan. Tulisan dan karya-karya manusia yang paling sempurna, tetap menyisakan celah argumentasi dan kelemahan.

Al-Qur’an memang jauh berbeda. Melalui ”tadabbur”, manusia akan dapat memahami gambaran dan ilustrasi-ilustrasi indah yang diberikan Allah. Dengan bertadabbur, manusia akan bisa menemukan celah-celah keutamaan Al-Qur’an. Sebagian dari keutamaan ini ialah tidak pernah sepinya ayat-ayat yang dikandungnya dari kesadaran. Ayat-ayat ini selalu memberikan rasa aman dan hukum atas suatu yang dipercaya kebenarannya.

Namun kita harus yakin sepenuh hati bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis ini tidak sekedar konsumsi untuk dibaca atau dihafal. Tidak pula ayat-ayat suci ini sekedar untuk dilombakan dengan alunan suara indah. Perhatikan peringatan Allah:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ

”Apakah mereka tidak merenungi Al-Qur’an?” . kata tadabbur dimaksudkan merenungi atau berkontemplasi. Untuk dapat melakukan perenungan, kita harus meyakini setiap kebenaran yang dikandungnya.

Oleh karena itulah, maka Allah mengingatkan mereka yang hati-hatinya tertutup rapat. Hati-hati yang tertutup tidak akan terpengaruh sedikitpun oleh kebesaran ayat-ayat Allah. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari hati yang sudah terkunci rapat. Oleh karena itu, surat Muhammad 24 yang saya kutipkan di atas kemudian berlanjut dengan

أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

”Ataukah hati nurani mereka terkunci rapat.?

Mengapa Allah menggambarkan hati mereka yang tidak melakukan tadabbur terhadap Al-Qur’an sebagai hati yang terkunci rapat? Sebab hati yang tertutup adalah ibarat cendela-cendela rumah yang tak pernah dibuka. Bagaimana sinar matahari akan dapat memancar masuk ke dalam rumah itu? Cendela-cendela ini perlu dibuka agar sang surya dapat menembus masuk dan membuat rumah yang gelap gulita menjadi terang. Hati nurani harus senantiasa dibuka di hadapan Al-Qur’an agar kita dapat menyingkap tabir kehidupan.

Di dalam surat As-Shaad ayat 29 Allah mengingatkan: ”Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan keberkatan, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang mengerti mau berpikir.” Isyarat Allah ini menjadi peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan bukan semata-mata untuk dibaca dengan cepat dan tergesa-gesa, sebab memperlakukan Al-Qur’an demikian ini hanyalah perbuatan sia-sia. Al-Qur’an perlu dikaji dan direnungkan agar manusia dapat melihat dengan seksama sesuatu yang ”dititipkan Allah” berupa kebenaran, petunjuk, dan kemenangan.

Nilai berkah yang paling tinggi ada pada Al-Qur’an. Ia mengandung bobot syariat dan perundangan yang mampu menciptakan perbaikan dan kedamaian bagi manusia. Al-Qur’an adalah Kalam Ilahi yang tidak dibatasi oleh dimensi tempat atau pun waktu. Sepanjang masa, manusia akan senantiasa membutuhkan kandungan isinya. Ayat-ayatnya bukan sekedar pendorong, atau motivator dan himbauan belaka. Dalam perjalanan sejarah yang demikian panjang, terbukti kitab suci ini mampu membangun aneka perbaikan bagi semua aspek kehidupan.

Kebesaran Al-Qur’an digambarkan Allah di berbagai ayat. Di antara lukisan kebesaran ini, surat Al-Hasyr 21 memberikan gambaran yang sungguh luar biasa:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآَنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Di dalam ayat ini, Allah seolah berbicara kepada manusia bahwa seandainya Al-Qur’an diturunkan di atas sebuah gunung, dan kalau seandainya saja gunung dilengkapi dengan indra, akal dan hati, pasti manusia akan dapat menyaksikan betapa gunung akan menjadi khusyuk. Manusia akan dapat melihat, betapa kekerasan dan ketinggian gunung ini luluh karena takut kepada Allah!

Permisalan pada ayat di atas adalah suatu isyarat yang menunjukkan betapa pentingnya mengkaji kandungan Al-Qur’an dengan tekun dan sungguh-sungguh. Ini karena kitab Allah ini mempunyai rentang yang teramat luas serta cakrawala terbentang, wawasan yang dalam dan jauh, sarat dengan segala sesuatu yang teramat berharga.

Ketika pertama kali mendengar seseorang membaca awal surat At-Thuur, Umar bin Khathab yang dikenal gagah berani, menjadi sempoyongan dan menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia pun kemudian pulang dan jatuh sakit selama sebulan sehingga banyak orang yang menjenguknya. Betapa khalifah yang sehebat itu, menjadi lemah lunglai tiada berdaya oleh kebesaran Al-Qur’an!

Di dalam perjalanan masa yang begini panjang, Al-Qur’an telah membuktikan dirinya sebagai kitab suci yang tak pernah dapat ditandingi oleh kitab apa pun. Sungguh Maha Benar Allah yang di dalam surat Yunus ayat 38 menantang orang-orang yang memojokkan Al-Qur’an agar mereka membuat satu surat saja seperti yang terdapat dalam kitab suci ini. Kenyataannya, sejak dahulu kala sampai kini, tidak satu pun karya manusia yang mampu menyerupai Al-Qur’an.

Dari sekian banyak aspek keajaiban yang melekat pada Al-Qur’an, ia mampu menggambarkan kebijakan besar dalam kehidupan manusia ke dalam kalimat-kalimat singkat. Perhatikan bagaimana surat Al-Baqarah ayat 187 melukiskan ”istri-istri kamu sebagai pakaian untukmu, dan kamu sebagai pakaian bagi mereka.” Amati pula betapa Al-Qur’an mengilustrasikan kekuatan di luar kekuatan Allah tak ubahnya seperti rumah laba-laba yang begitu rentan dan mudah hancur, sebagai yang tersirat dalam surat Al-Hajj 73.

Berapa kali dalam hidup ini kita mengkhatamkan Al-Qur’an. Sekali pun dibaca beribu kali, ternyata kemanisan dan kedalaman kata-kata yang digunakannya tak pernah meninggalkan kesan monoton dan membosankan. Bahkan, setiap kali dipelajari, setiap kali pula ia mampu menampilkan pesan-pesan baru yang mengagumkan.

Keharmonisan yang ditampilkan Al-Qur’an juga sungguh luar biasa. Cobalah menyandingkan satu saja ayat Al-Qur’an di antara bermacam teks dan bacaan berbahasa Arab lainnya. Orang akan segera dapat membedakan mana yang datang dari Al-Qur’an dan mana yang bukan.

Di dalam surat Al-Israa’ ayat 88, Allah memastikan bahwa seandainya semua jin dan manusia berkumpul untuk menciptakan sebuah kitab serupa Al-Qur’an, tentu mereka tak akan pernah dapat berhasil meski pun satu dengan lainnya saling membantu. Ayat ini diturunkan Allah sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang sebagaimana disitir Allah dalam Al-Anfaal 31, ”Kalau kami menghendaki, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini.”

Kelebihan yang lain dari kitab suci ini adalah ciri komprehensif yang dimilikinya. Ia memuat berbagai reasoning (alasan) dan penjabaran pada contoh dan misal kejadian baik mengenai kehidupan di dunia mau pun di akherat. Al-Qur’an juga menyikapi fakta menyangkut berbagai problema keluarga, hukum, politik, militer, etika, pengalaman sejarah dan sebagainya.

Al-Qur’an juga sangat realistik. Isi kandungannya tidaklah sekali-kali didasarkan pada dugaan semata. Kisah-kisah yang dimuatnya terdokumentasikan dengan rapi dan riil. Ciri universal yang melekat pada Al-Qur’an akan mampu memberikan manfaat kepada semua orang di semua lapisan tanpa membedakan kapan dan di mana mereka berada. Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab yang khusus untuk waktu, tempat atau masyarakat tertentu.

Perhatikan betapa pula Al-Qur’an telah menjawab perjalanan waktu. Pengaruh abadi yang dimiliki kitab Allah ini senantiasa menguakkan bermacam rahasia seiring dengan semakin lanjutnya usia peradaban manusia, dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan sain. Al-Qur’an patut disebut sebagai suatu keajaiban luar biasa, Kalam Ilahi yang diturunkan kepada manusia terpilih sebagai suatu Maha Karya melalui seorang nabi ummi di suatu tempat yang tandus dari kemampuan membaca dan menulis. Al-Qur’an utuh sepanjang jaman karena tak pernah dan tak akan pernah terkontaminasi oleh tambahan atau pun reduksi. Al-qur’an selamanya tak akan tersentuh oleh bentuk distorsi apa pun.

Banyak ilmuan yang memiliki kepekaan pikiran, khususnya yang sering menekuni firman-firman Allah, tak habis-habisnya menaruh rasa kagum. Dengan perundangan dan syariat Allah dalam Al-Qur’an mereka dapat menyentuh suatu keyakinan, bahwa dia atas setiap orang pandai pasti ada Yang Maha Pandai, Yang Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu yaitu Allah. Di atas Allah tak akan pernah ada lagi!

Al-Qur’an yang merupakan sumber pandangan Allah telah menempuh perjalanan panjang berabad-abad lamanya. Namun, ia tetap tumbuh bersemi mengguncangkan jiwa manusia yang paling dalam. Ia senantiasa mendapat kedudukan terhormat dan paling mulia di antara semua kitab yang pernah ada di dunia.

Akhirnya, di sela-sela besarnya rasa syukur saya kepada Allah setelah menyelesaikan tulisan ini, saya memohon ampun kepadaNya. Ternyata, teramat sedikit yang dapat saya tulis tentang kebesaran dan keagungan Al-Qur’an. Ternyata, terlalu kecil diri saya ini untuk bisa menyingkap tabir kedigdayaan Al-Qur’an. Saya memang terlalu dhoif untuk bisa menjangkau apa yang saya inginkan. Semoga Allah selalu mengampuni diri saya…..!